Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Minggu, 08 Desember 2013
Menaksir China Bertarung di Perang Dunia III
Latar
belakang tulisan ini ialah pro-kontra prakiraan Perang Dunia (PD) III
yang semakin mengental auranya, entah di Jalur Sutra (Selat Hormuz) atau
bergeser di Laut China Selatan dan lainnya. Entahlah. Telah banyak
telaah tentang trend, mapping dan negara mana kelak terlibat di dalamya.
Global Future Institute (GFI), Jakarta perlu menurunkan artikel tentang
kekuatan para adidaya atau negara yang akan terlibat, baik sisi
peluang, ancaman, kekuatan maupun kelemahanya. China sebagai adidaya
baru dipastikan ---baik langsung maupun tak langsung--- bakal terlibat
secara masif dalam PD nanti. Dengan merujuk berbagai sumber pustaka baik
buku, diskusi-diskusi di internal GFI maupun data yang berserak
di
dunia maya, maka inilah ulasan kami sesuai judul di atas
Mengurai China memang panjang, namun catatan ini dimulai sejak awal abad
ke-20, ketika ia mencoba melibatkan diri dalam kancah perdagangan
global, maka wilayah pesisir menjadi makmur sedangkan daerah pedalaman
---sekitar 160 km dari pantai dan 1.600 km arah barat--- masih melarat.
Inilah persoalan mapping kependudukan yang mendasar. Keberadaan kaum
miskin sebagian besar di sebelah barat wilayah pesisir yang memang lebih
kaya. Perbedaan kekayaan ini berdampak pada “ketegangan sosial” antara
kaum pesisir dengan orang-orang dari pedalaman.
Sukses China
kini tak lepas dari kiprah Mao Zedong dekade 1927-an. Ia melakukan long
march ke pedalaman-pedalaman guna mencairkan “ketegangan” kedua golongan
tersebut. Mao meningkatkan jiwa juang kaum pedalaman untuk mampu
bersaing dan “menaklukkan” wilayah pesisir. Pada akhirnya ia pun
mengambil keputusan menutup China dari dunia luar (perdagangan
internasional) agar lebih bersatu dan setara. Mungkin inilah titik awal
kenapa ia dijuluki sebagai Tirai Bambu, negeri yang tertutup bagi dunia
luar!
Agaknya untuk saat ini, pemerintah telah mempunyai format
cocok tentang kekayaan dalam mencapai stabilitas. Menurut George
Friedman, ada tiga kepentingan inti yang dianggap strategis oleh China
karena bermuara kepada perwujudan kesejahteraan (kepentingan nasional)
di dalam negeri.
Stategi pertama ialah membangkitkan dan
“membeli” loyalitas warganya melalui kerja massal; rencana ekspansi
industri dengan cara memaksimalkan kerja sebagai tujuan namun sedikit
pemikiran soal pasar, karena pemasaran menjadi domain atau urusan
negara; tabungan swasta dimanfaatkan untuk membiayai industri,
meninggalkan sedikit modal dalam negeri untuk membeli output; dan
terutama ekspor harus sesuai permintaan pasar dunia.
Strategi
kedua bahwa desain industri China berbasis produksi yang lebih daripada
kebutuhan (konsumsi) nasional. Artinya kegiatan ekspor dilakukan setelah
tercukupi dahulu konsumsi internal. Kemudian impor bahan baku dilakukan
manakala ia mengekspor barang-barang ke seluruh dunia. Dengan demikian,
China memastikan dahulu permintaan internasional atas ekspornya,
termasuk berbagai kegiatan investasi uang di negara-negara konsumen guna
membangun akses hingga ke jalur global.
Strategi ketiga ialah
kontrol stabilitas atas empat “wilayah penyangga” yang meliputi Mongolia
Dalam, Manchuria, Xinjiang dan Tibet. Mengamankan daerah penyangga
identik dengan melindungi China dari serangan Rusia, India atau negara
lain di Asia Tenggara, kendati rata-rata daerah penyangga telah memiliki
“hambatan” baik hutan, gunung, padang rumput maupun gurun Siberia ----
dimana tercipta pertahanan secara alami yang membuat setiap upaya
penyerangan dari luar selalu dalam posisi lemah.
Adapun urgensi
wilayah penyangga berdasar mapping kependudukan, selain suku Han yang
mendominir China, ada empat suku lain non-Han yang tersebar serta
merupakan kelompok mayoritas di daerah penyangga.
Antara Krisis, Masalah Pedalaman dan Wilayah Peyangga
Tampaknya krisis ekonomi global yang menimpa Uni Eropa (EU) dan Amerika
Serikat (AS) selaku pelanggan utamanya, berimbas sangat negatif
terhadap ekspor barang di kedua kawasan tadi. Di satu sisi, ia belum
mampu secara maksimal meningkatkan permintaan domestik dan jaminan akses
global terutama melalui perairan, sedang di sisi lain intensitas
kepentingan AS terlihat mulai hilir-mudik dan “mancing-mancing” di Laut
China dan sekitarnya.
Tekanan ekonomi menjadi tantangan
tersendiri bagi China. Misalnya kekayaan laut yang melimpah pun ternyata
tergantung dari perdagangan yang kini mulai goyah. Maraknya kemiskinan
di daerah pedalaman membutuhkan banyak subsidi, tetapi karena
pertumbuhan ekonomi melambat secara substansial akibat krisis, maka
bantuan pun sulit direalisasi.
Ada dua wilayah penyangga China
yang hingga sekarang masih dikategorikan “rawan”. Terdapat unsur-unsur
perlawanan, di Tibet dan Xinjiang gigih menentang “pendudukan” suku Han
yang sengaja di-drop oleh pusat. Dalam perspektif stabilitas, lepasnya
kedua daerah ini dapat menimbulkan gangguan bagi kedaulatan China.
Misalnya, ancaman India melalui utara Himalaya bisa menciptakan
radikalisme Islam di Xinjiang; Tibet pun berpotensi membuat “kegaduhan”
internal dan lainnya.
Memang perang terbuka antara China dan
India akan sulit terjadi karena hambatan Himalaya. Dalam logika militer
modern, droppinglogistik dalam skala besar dalam peperangan relatif lama
akan mengalami hambatan dengan kondisi medan seperti itu. Bila kelak
terjadi clash, maka pertempuran-pertempuran kecil mungkin lebih efektif.
Kedua negara telah “saling mengancam”, apalagi coba-coba hendak
membangun kekuatan militer di sekitar gunung dan menyeberangi Himalaya.
Bagi India, gangguan akan muncul jika pasukan China memasuki Pakistan
dalam jumlah besar, sebaliknya bagi China gangguan timbul bila pasukan
India masuk melalui Tibet. Yang berlangsung sekarang ialah saling intip
dan waspada. China menciptakan “skenario” seolah-olah mengirim pasukan
via Pakistan, meskipun Pakistan sendiri sesungguhnya tidak memiliki
kepentingan dengan pendudukan China bila kelak ia mampu menduduki India.
China pun demikian, tidak ada minat untuk melakukan operasi keamanan di
Pakistan
Berbeda dengan China, justru India memiliki minat
mengirimkan pasukan ke Tibet bila terjadi revolusi nanti. Karena bagi
India, kemerdekaan Tibet tanpa kehadiran tentara Beijing akan menarik
perhatian dunia. Dalam perspektif hegemoni India, persoalan Tibet
sebenarnya hanya masalah pengelolaan saja. Dan disinyalir
pemberontak-pemberontakan Tibet mendapat dukungan dari India meski dalam
skala minimal sehingga tidak akan mengancam kendali China.
Persoalan dominasi suku Han di wilayah-wilayah penyangga sebenarnya bisa
direduksi dengan pengelolaaan yang baik melalui beberapa upaya sehingga
bisa memperbaiki reputasi China di forum internasional. Kuncinya adalah
stabilitas wilayah pedalaman. Tetapi bila porsi ini diserahkan
sepenuhnya kepada suku Han maka kontrol terhadap daerah penyangga justru
melonggar. Itulah dilematisnya.
Memelihara wilayah pedalaman
memerlukan transfer berbagai sumberdaya. Hal ini bermakna harus
menumbuhkan ekonomi pesisir guna menghasilkan modal untuk transfer
(subsidi) daerah pedalaman. China memang jauh dari revolusi namun dekade
ini ketegangan sosial terus meningkat.
Mempertahankan
kestabilan pedalaman merupakan tantangan besar. Ritme antara model
kerja, pasar profibialitas, sumberdaya dan jaringan antara supply and
demand mutlak harus dikendalikan. Faktor yang akan mengganggu ialah
inflasi karena meningkatnya subsidi bagi kaum pedalaman, otomatis
mengurangi daya saingnya terhadap eksportir lain di tingkat global.
Inilah tantangan strategis China. Tantangan yang hanya dapat diatasi
dengan meningkatkan profibilitas pada aktivitas ekonomi, sehingga
mustahil dihadapi dengan produk yang bernilai rendah. Solusinya
barangkali ialah memulai dengan manufaktur dan produk yang memiliki
nilai tambah (sepatu, motor, mobil dll). Tetapi konsekuensi yang muncul
perlu tenaga kerja terdidik dan terlatih. Selain butuh waktu yang
relatif lama juga akan bersaing secara langsung melawan negara-negara
industri mapan seperti Jepang, Jerman, AS dan lainnya. Inilah medan
tempur strategis bagi China yang mutlak harus direbutnya bila ingin
mempertahankan stabilitas.
Kelemahan dan Kekuatan Militer
Selain terdapat masalah ekonomi, persoalan militer pun tak kalah pelik.
Misalnya dari aspek geostrategi, sistem pertahanannya sangat tergantung
pada laut lepas, sedang konfigurasi Laut China Selatan dan Laut China
Timur sangat mudah diblokade dari luar. Laut Timur terbentang di antara
pulau-pulau Korea, Jepang dan Taiwan, kemudian Laut China Selatan lebih
tertutup lagi yakni pada bentangan antara Taiwan, Filipina, Indonesia
dan Singapura. Keprihatinan besar Beijing saat ini adalah rencana
blokade oleh AS yang akan berdampak signifikan terhadap perekonomian
China secara menyeluruh. Barangkali inilah shock and awe yang tengah
dijalankan oleh AS dalam rangka “melemahkan” China, belum lagi bakal
muncul ancaman dari Taiwan, Korea Selatan, Philipina dan lainnya.
Dekade 2008-an kekuatan militernya memang terbesar kedua setelah AS,
namun pada tahun 2011-an Rusia mampu menyalip sehingga kini menempati
urutan ketiga. Menurut Dewi Fortuna Anwar dalam diskusi ASEAN-US
Relations: What Are the Talking Points? yang digelar di @america Mall
Pacific Place Jakarta, Senin (5/3/2012). “Hingga saat ini anggaran
militer AS jauh lebih besar dari jumlah anggaran sebagian negara-negara
besar," katanya, sekalipun anggaran belanja militer sebagian
negara-negara besar seperti Jepang, Inggris, Rusia ditambah dengan
anggaran militer ke sepuluh negara ASEAN bahkan anggaran militer AS
masih tetap yang tertinggi.
Data 2011 anggaran militer AS
berjumlah 692 milyar USD, bandingkan dengan China sekitar 100 milyar
USD, Rusia 56 milyar USD, India 36,030 milyar USD, atau Iran 9,174
milyar USD dan sebagainya (www.globalfirepower.com).
Rincian selanjutnya adalah sebagai berikut. Saat ini, The People’s
Liberation Army (PLAN) memiliki 250.000 tentara yang didalamnya termasuk
35.000 tentara Coastal Defense Force (Pasukan Pertahanan Lepas Pantai).
Sedangkan infantri marinir lautnya berjumlah 56.000 tentara. Belum lagi
termasuk 56.000 Aviation Naval Air (Pasukan Unit Udara Angkatan Laut).
Bukan itu saja. Jumlah kapal selam milik PLAN pun boleh dibilang cukup
fantastis. Saat ini China memiliki 972 unit kapal selam. Kemajuan yang
sangat pesat mengingat sebelummnya PLAN hanya memiliki 35 unit kapal
selam. Sedangkan kapal pembawa rudal juga meningkat dari 20 menjadi 100
buah.
Dengan demikian, postur angkatan bersenjata China
diprediksi akan semakin meningkat, sehingga pada 2015 mendatang, China
diyakini akan memiliki anggaran militer dua kali lipat dari yang saat
ini sebesar 100 miliar dolar AS. Suatu fakta yang tentunya mencemaskan
bagi Amerika dan Uni Eropa, apalagi bagi berbagai elemen yang meyakini
prediksi Samuel Huntington dalam bukunya The Clash of Civilization.
Dalam bukunya tersebut, pakar politik Amerika dari Universitas Harvard
tersebut memprediksi akan meletus perang terbuka AS-China, dan
melibatkan polarisasi baru antara AS-Uni Eropa versus
China-Negara-negara Islam.
Begitupun,dengan data yang tersaji
tersebut di atas, tetap saja China belum bisa dikatakan telah memiliki
angkatan laut handal. Hingga saat ini China masih dalam proses
penyelesaian kapal induk pertama. Angkatan lautnya tidak cukup kualitas,
kuantitas dan pengalaman untuk bertempur melawan militer AS dan sekutu.
Sejak usai Perang Dunia II, geliat militer China belum memiliki
kelompok tempur kapal perang yang teruji dan tidak pernah lagi memiliki
laksamana tangguh seperti kisah Cheng Ho dulu.
Strategi Kontra
Tampaknya China memahami masalah ini. Dalam rangka mencegah blokade
laut oleh AS, selain tahun ini (2012) menaikkan budget militernya hingga
11% lebih, ia juga membangun kapal selam besar sebagai strategi kontra.
Kemudian mengembangkan rudal anti kapal yang mampu menembus kapal
perang bahkan kapal induk sekalipun.
Pada satu sisi, China juga
memiliki sistem rudal darat yang mampu menangkis serangan rudal
jelajah, kemudian kini mempunyai pesawat terbang siluman, pesawat tanpa
awak saat ini masih dalam pengembangan, namun di sisi lain strategi
rudal akan bekerja dengan baik bila memiliki kemampuan intai efektif.
Artinya rudal tidak dapat menghancurkan kapal jika tidak tahu posisinya,
lalu ia pun membangun teknologi smart satelit sebagai supporting system
dalam perang rudal kelak.
Selain itu kemampuan China dalam
pertempuran jangka lama masih belum teruji. Kendati kekalahannya sewaktu
ia menyerang Vietnam tahun 1979-an tidak boleh dijadikan patokan,
karena kemampuan militernya telah melesat jauh daripada sebelumnya, kini
terbesar ketiga setelah AS dan Rusia.
Strategi kontra lain
ialah berusaha mendapat akses pelabuhan di beberapa negara di kawasan
Lautan Hindia dengan membangun pelabuhan di Myanmar, Pakistan, Kolombo
dan Sri Lanka, termasuk membangun rel serta sistem transportasi jalan
sebagai infrastruktur menuju pelabuhan-pelabuhan tersebut. Tetapi yang
urgen ialah memelihara hubungan politik dengan negara yang diakses
terutama beberapa negara yang memiliki kadar ketidakstabilan tinggi
seperti di Myanmar, Pakistan dan lainnya.
Inilah salah satu
kepentingan stategis lagi fundamental bagi China. Ia pun tidak boleh
berasumsi bahwa dengan membangun sebuah pelabuhan akan memberikan akses
tak terbatas di negara tersebut, sebab jalan dan jalur rel mudah
disabotase gerilyawan suatu negara, atau mudah dihancurkan melalui
serangan udara. Dengan demikian, Beijing harus mampu mengendalikan
situasi politik di negara tuan rumah dalam waktu lama. Dan jaminan atas
kendali pada negara lain mutlak harus memiliki kekuatan besar untuk
memaksa akses ke pelabuhan dan sistem transportasi.
Semenjak
Komunis mengambil alih kekuasaan, China jarang bahkan hampir tidak
pernah melakukan operasi militer secara ofensif. Hanya sekali-sekali
saja. Suksesnya invasi ke Tibet bukan jaminan kehebatan militernya,
karena daya tempur unsur-usur perlawanan memang tidak maksimal. Demikian
pula intervensi ke Korea mengalami kerugian karena biaya relatif besar
namun menemui jalan buntu. Hal ini membuat ia harus berhati-hati di masa
depan. Yang memalukan ketika ia menyerang Vietnam tetapi menderita
kekalahan (1979). Dengan demikian, setidaknya “bangunan militer”-nya
kini telah mengadopsi beberapa pengalaman tidak menyenangkan di masa
lalu.
Semenjak dekade 1980-an, China telah menyerahkan tanggung
jawab internalnya kepada polisi, pasukan perbatasan dan pasukan
keamanan internal lainnya yang telah diperluas serta terlatih dalam
rangka menangani ketidakstabilan sosial. Pengalaman atas konflik
internal di masa lalu telah meletakkan pula The Peoples’s Liberation
Army (PLA) atau Tentara Pembebasan Rakyat sebagai organ yang ditunjuk
dalam rangka mengendalikan konfigurasi sosial di dalam negeri hingga
level terburuk. PLA adalah secondery force selain militer, ia
dipersiapkan dalam rangka menghadapi tantangan pendudukan dari Myanmar,
atau Pakistan misalnya, intinya adalah mengendalikan situasi internal
bukan untuk proyeksi keluar.
Secara fisik ia mampu
mengendalikan di dalam tetapi kontrol terhadap negara-negara tetangganya
sangat terbatas. Salah satu kelemahanya ialah ketidakmampuan dalam
penyediaan logistik perang jarak jauh dengan waktu lama disebabkan
faktor alam, infrastruktur transportasi, serta dikelilingi oleh
negara-negara yang secara politis berseberangan. Solusi sederhana bagi
China, terutama untuk kontrol eksternal ialah membuka jalur-jalur laut
dan metode gerilya bersenjatakan rudal, ranjau dan kalal selam. Ini yang
seharusnya dibangunnya.
Strategi Politik
Melihat
fakta di atas, tampaknya China menghadapi masalah strategi yang cukup
signifikan. Sepertinya ia belum mampu jika melawan AS dan sekutu di
perairan. Kontra strategi yang diterapkan pun belum sepenuhnya efektif
mengingat biaya besar dan kondisi akses politik yang tidak pasti di
negara-negara di sekitar Lautan Hindia. Apa boleh buat. Tuntutan
menciptakan kekuatan guna mampu menjamin akses politik diluar, justru
bertentangan dengan persyaratan keamanan dalam negerinya sendiri. Ya.
Kekuatan dominan angkatan laut dunia saat ini adalah Paman Sam beserta
koalisi dengan puluhan kapal induk diiringi kapal freegat serta ratusan
kapal selam siap tempur, belum lagi pangkalan militer yang tersebar di
berbagai belahan dunia.
Upaya menetralisir kelemahan
strateginya, China mencoba melibatkan sebagai bagian yang urgen bagi AS
itu sendiri. Misalnya surat utang sebesar 1,107 triliun USD per
September 2011 milik AS (CNBC, 2/2/2012) yang dipegang oleh China memang
bisa menjadi kartu truf dalam satu sisi, kendati belum menjamin
sepenuhnya terutama sisi politik global.
Pengalaman Libya
merupakan contoh riil. Kepercayaan diri Gaddafi yang berbasis keyakinan
bahwa ia tidak akan diserang oleh AS dan NATO karena disamping tengah
menjalin konsesi minyak beberapa perusahaan minyak milik Barat, juga
Barat memiliki utang sekitar 600 milyar USD kepada Libya. Dari aspek
politik ternyata bertolak belakang. Resolusi PBB nomor 1973 tentang No
Fly Zone merupakan jawaban fatal atas “kesalahan keyakinan”-nya Gaddafi
kepada Barat. Seri baru perang kolonial yakni utang dibayar bom dan
perampokan internasional berkedok pembekuan aset-aset di luar negeri pun
diterapkan oleh AS dan sekutu terhadap Libya (baca: Perampok
Internasional dan Utang Dibayar Bom, di www.theglobal-review.com). Libya kini porak-poranda.
Persepsi kebangkitan China memang tak bisa dipungkiri siapapun, namun
mengingat masih besarnya tantangan internal sementara postur militernya
tengah berformat mencari bentuk ideal merujuk geostrategi dan
geopolitik, maka dibutuhkan kajian secara mendalam oleh think-tank
Beijing jika memutuskan hendak melawan AS dan sekutu di wilayah
perairan.
Rekomendasi
“Setiap sistem dominasi tergantung kekuatan militer, tetapi selalu membutuhkan pembenaran ideologis” (Jean Bricmont).
Menaksir kemampuan China dari teori ini, tampaknya kedua elemen sebagai
syarat pokok yakni power militer dan senjata ideologis belum
dimilikinya. Jujur saja, China tidak punya citra ideologis guna
“menerobos” lorong-lorong politis negara lain dan juga belum memiliki
power militer dalam rangka akses politis di luar kendati kekuatan
militernya ketiga terbesar di dunia. Berbeda dengan AS yang mampu
menebar ideologis melalui paket demokrasi, HAM dan lingkungan (DHL)
serta para personel dan pangkalan militer, capacity building bahkan
doktrin militernya bertebaran di banyak negara.
Pendekatan
asimetris (non militer) China dianggap luar biasa, bahkan ditakuti oleh
jajaran negara Barat di Afrika, Asia, Timor Leste dan lainnya. Hal ini
menjadikan China lebih populer daripada kelompok negara Barat yang
sering usil dengan urusan internal negeri lain. Namun langkah asimetris
bukanlah jaminan, selain tidak memiliki efek signifikan bila terjadi
perang terbuka nanti, niscaya akan mengendala ketika merambah suatu
negara yang secara ekonomi telah mapan serta sudah mampu mengelola “jati
diri”-nya secara berkelanjutan seperti Brazil, Venezuela, Bolivia, Iran
dan lainnya.
Namun demikian ada beberapa hal yang kiranya
perlu mendapat perhatian kita secara seksama terkait postur kekuatan
angkatan bersenjata China yang cenderung kian meningkat dari waktu ke
waktu. Berdasarkan data kekuatan militer China yang berhasil dihimpun
oleh tim riset Global Future Institute(GFI), kekuatan angkatan
bersenjata China bagaimanapun juga tetap tidak boleh diremehkan, bahkan
oleh Amerika Serikat sekalipun.
Tentara Aktif berjumlah
2.255.000 (dua juta duaratus limapuluh lima ribu) orang. Tentara
cadangan, 800.000(delapan ratus ribu) orang. Paramiliter aktif
3.969.000(tiga juta sembilanratus enampuluh sembilan ribu) orang.
Angkatan Darat, China memiliki senjata berbasis darat sejumlah 31.300,
tank sejumlah 8200, kendaraan pengangkut pasukan sebesar 5000, meriam
sejumlah 14.000, senjata pendorong 1.700, sistem peluncur roket 2.400,
mortir sejumlah 16.000, senjata kendali anti tank 6500, dan senjata
anti-pesawat 7.700.
Di matra laut, China pun cukup berjaya.
Kapal perang, berjumlah 760 unit, kapal pengangkut 1822 unit, pelabuhan
utama 8, pengangkut pesawat 1 unit, kapal penghancur 21 unit, kapal
selam 68 unit, fregat 42, kapal patroli pantai 368 unit 6, kapal penyapu
ranjau sekitar 39 unit, dan kapal amphibi sekitar 121 unit.
Angkatan Udara, China punya jumlah pesawat 1900 unit. Cukup menakjubkan. Helikopter 491 unit, lapangan udara 67 unit.
Mengakhiri catatan ini, rekomendasi yang diberikan ialah agar pancingan
AS dan kelompok negara proxy-nya sekutu terhadap China supaya masuk ke
lingkaran tema PD III di Laut China Selatan sebaiknya dihindari
sementara ---diulur-ulur waktu--- sambil ia terus membangun kontra
strategi dan meningkatkan kemampuan “gerilya”-nya guna menaklukkan
negara di sekelilingnya. Akan tetapi rekomendasi ini boleh saja
diabaikan apabila telah ada komitmen jelas, bahwa Rusia pun terlibat
langsung bersama-sama China melawan AS dan sekutu. Itu baru imbang!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar