Dalam suatu kesempatan, Saya pernah membaca sebuah artikel di media online seorang penulis buku parenting dan trainer pendidikan, beliau menulis sebuah artikel yang dengan berjudul “Salahnya Kodok”.
Dalam artikel tersebut penulis memotret kehidupan anak-anak Indonesia
yang sejak kecil secara tidak sadar dilatih untuk menyalahkan orang
lain. Jika sang anak jatuh maka si ibu mengatakan bahwa yang membuat
jatuh adalah kodok. Alih-alih si ibu menjelaskan mengapa sang
anak jatuh tetapi kodok yang tidak berdosa menjadi sasaran penimpaan
kesalahan. Seberapa sering anak jatuh ucapan si ibu terekam kuat dalam
otaknya dan membentuk dalam ucapan dan tindakannya kelak bila ia
menginjak remaja hingga dewasa bahkan sampai lanjut usia.
Kisah ini merupakan potret kehidupan sehari-hari yang terpapar secara
jelas dan nyata. Seorang pengusaha yang mengalami kerugian besar
menyalahkan pegawainya yang dianggap tidak becus bekerja. Seorang
pejabat menyalahkan para stafnya jika ia terbukti melakukan
penyalahgunaan wewenang. Seorang ayah atau ibu menyalahkan anaknya jika
tidak memenuhi harapannya atau memenuhi keinginannya. Pada skala yang
lebih luas, dengan adanya reformasi informasi, sering terjadi rakyat
menyalahkan pemerintah. Sebaliknya pemerintah juga menyalahkan rakyat
karena dianggap kurang tanggap terhadap kebijakan pemerintah.
Begitulah, kita seolah memasuki lembaran kehidupan yang tidak
berujung dan berpangkal. Budaya menyalahkan orang atau pihak lain
menjadi menu sehari-hari dalam perbincangan dan tingkah laku. Kebenaran
menjadi barang yang langka dan buram karena hampir semua merasa benar
sendiri. Pertanggungjawaban hanya menjadi catatan tertulis tanpa
diimbangi dengan bukti yang nyata dan meyakinkan. Pengakuan bahwa secara
pribadi memiliki kesalahan sering hanya sekadar basa-basi karena dalam
realitasnya pengulangan kesalahan terjadi kembali.
Kebiasaan seperti ini sudah menjadi hal biasa di dengar yaitu antara
ucapan dan tindakan sering tidak ada kesesuaian. Bila hipokrit dapat
dianggap sebagai virus, maka ia tidak kalah berbahayanya dengan virus
flu burung atau flu babi. Maka solusinya adalah lampu merah harus
dinyalakan agar penyebaran virus tersebut dapat dihentikan. Dalam
tulisan ini saya akan mencoba mengintrospeksi diri berkaitan dengan
budaya salah kaprah tersebut. Jika seorang guru sudah terjangkiti
penyakit tersebut siapa lagi yang berjuang di garis depan untuk
memberantas penyakit yang membahayakan tersebut. Seorang guru pun tidak
luput dari kebiasaan menyalahkan orang atau pihak lain.
Mudah-mudahan catatan kecil ini bermanfaat bagi pribadi saya dan
untuk kita semua pada umumnya khususnya pegiat dunia pendidikan, karena :
Guru Bisa Salah
Di saat seseorang guru mengeluhkan atau mempertanyakan tentang
fasilitas minim yang dimiliki sekolah dan beberapa persoalan lainnya.
Saat yang sama, guru dituntut memberikan pembelajaran yang berkualitas.
Guru masa depan merupakan guru yang tidak mudah terjebak untuk sering
menyalahkan orang atau pihak lain sebagai penyebab kegagalan dalam
kesuksesan kegiatan belajar-mengajar.
Pernyataan ini menyadarkan saya atau bahkan mungkin Anda, karena
termasuk orang yang pernah menyalahkan keadaan yang bisa dikategorikan
menyalahkan. Sebagai pendidik baru mungkin masih idealis dengan visi
pendidikan yang dipahami dengan menggunakan varian pendidikan yang
inovatif dan kreatif, akan tetapi bagaimana dengan teman-teman Guru yang
sudah mengabdi hampir 20 tahun menjadi guru swasta yang secara
finansial gajinya tidak lebih besar daripada upah buruh pabrik,
misalnya. Sebaliknya pemerintah hampir setiap tahun menaikkan gaji
guru-guru PNS. Padahal dalam setiap kesempatan para pejabat pendidikan
selalu menyuarakan upaya penyetaraan guru negeri dan swasta secara
finansial. Manis yang engkau ucapkan, pahit yang aku rasakan, sepenggal
syair lagu yang diciptakan Rhoma Irama, sering mendengung memekakkan
telinga.
Persoalan yang satu belum selesai, kini tantangan baru di depan mata
yaitu peralihan kurikulum lama (KTSP) menjadi kurikulum 2013. Semua
sepakat, yang menjadi masalah bukanlah perubahan kurikulum karena itu
bagian dari tuntutan zaman memang menghendaki demikian. Yang menjadi
soal adalah selalu dalam perubahan kurikulum itu disertai beban
administrasi yang terkadang membingungkan. Pada akhirnya sang guru hanya
disibukkan oleh urusan administrasi yang melelahkan, sedangkan upaya
peningkatan kualitas pendidikan dan pembelajaran sering terabaikan.
Untuk menyiasatinya timbullah budaya baru yang disebut copy-paste karena terbentur waktu yang tidak cukup untuk peningkatan diri.
Selanjutnya yang menjadi bahan penimpaan kesalahan adalah dalam guru
itu sendiri. Banyaknya organisasi profesi guru yang mengakibatkan tidak
berjalannya visi-visi guru sebenarnya. Akibatnya adalah timbullah
kelompok-kelompok dalam komunitas guru, ada (PGRI, FGII, IGI atau FSGI).
Ada kelompok pembangkang, pembebek, dan apatis. Padahal seharusnya
organisasi profesi guru idealnya sebagai representatif dari semua
kepentingan dan kebutuhan guru untuk menyukseskan pendidikan dan
pembelajaran yang bermutu. Penimpaan kesalahan terhadap sesama guru bisa
jadi karena berbeda ormas, misalnya, atau dianggap sebagai penghambat
karirnya. Kesenjangan sosial pun dapat juga menjadi penyebab retaknya
hubungan dewan guru.
Berikutnya, yang menjadi tudingan pembuat kesalahan adalah orang tua
dan siswa itu sendiri. Orang tua dianggap sebagai penghambat kemajuan
karena sebagian besar tidak mau memperhatikan perkembangan
putra/putrinya. Sering terjadi orang tua hanya pasrah bongkokan kepada
para guru tanpa diimbangi dengan perhatian yang penuh. Malah yang lebih
menyakitkan, bila siswa memiliki prestasi orang tua menganggap itu bukan
keberhasilan para guru. Sebaliknya bila siswa melakukan pelanggaran dan
non-prestasi orang tua menganggap para guru tidak sanggup memberikan
pendidikan dan pembelajaran yang baik. Kita sadar bahwa guru juga
manusia, bisa salah dan alpa. Dalam bagian berikut saya perlu melakukan
pembacaan kembali bagaimana seharusnya menjadi guru ideal.
Guru Ideal
Menjadi guru ideal bukanlah hal mudah karena dalam jiwa dan raganya
melekat sifat-sifat insan kamil (manusia sempurna) sebagaimana
dicontohkan Rasulullah SAW. Dalam konsep menjadi guru ideal yang saya
ambil adalah dari ajaran agama Islam. Ada beberapa sifat yang seharusnya
melekat dalam pribadi guru ideal sebagaimana diuraikan oleh Ir. H.
Soehadi Djami’in dalam bukunya Perjuangan Membangun Citra Sekolah Islam.
Pertama, sebagai sosok yang menjadi contoh bagi para siswa seorang
guru harus bertaqwa kepada Allah. Dari segi akhlaq dia harus memiliki
tingkah laku yang baik. Integritas tinggi kepada profesi dan pendidikan
menjadi pegangan keseharian. Amal ibadahnya dilakukan secara istiqamah
disertai wawasan Islam yang baik dan luas. Pada dirinya juga tertanam
kuat niat sebagai da’i (pendakwah) sehingga kemampuan baca-tulis Al-Qur’an pun dimilikinya.
Kedua, seorang guru ideal mempunyai kelayakan akademis (kredibilitas)
yang terdiri atas: (1) menguasai materi, (2) terampil membuat rencana
pembelajaran, (3) terampil menggunakan multimedia dan metode, (4)
terampil mengelola kelas, (5) memiliki improvisasi dan pengembangan
materi, (6) terampil mengevaluasi, (7) mampu menyampaikan materi, (8)
tampil percaya diri, (9) kreatif, dan (10) terampil membuat laporan.
Ketiga, mengutip pendapat Al-Mawardi, seorang ulama Islam, seorang
guru ideal harus memiliki sikap tawadhu’ (rendah hati) dan menjauhi
sikap ujub (besar kepala, sombong). Guru yang rendah hati akan mendapat
simpati sedangkan guru yang besar kepala akan menjadi kurang disenangi
bahkan mungkin dibenci.
Keempat, seorang guru ideal adalah guru yang memiliki sikap ikhlas,
artinya membersihkan hati dari segala dorongan yang dapat mengotori niat
mulianya. Keikhlasan berkait erat dengan motivasi. Guru ideal yang
ikhlas sudah pasti motivasinya karena Allah semata, bukan karena
dorongan nafsu semata atau mengharap status dan penghormatan.
Kelima, seorang guru ideal yakni guru yang mencintai tugasnya.
Panggilan jiwanya mengarahkan diri dan jiwanya selalu berbakti kepada
Allah SWT. Di atas berbagai hal tersebut, pada akhirnya seorang guru
ideal hanya mencari ridha Allah bukan sekadar mengharapkan balasan
berupa materi atau kehormatan semu.
Demikianlah tipikal seorang guru ideal. Guru yang sibuk mengurus
dirinya sendiri agar menjadi pribadi yang semakin baik dan berkualitas.
Karena kesibukannya itulah dia tidak direpotkan untuk mencari kambing
hitam yang dianggap sebagai biang keladi kesalahan. Introspeksi diri
setiap saat menjadikan guru semakin diperhitungkan dalam upaya
peningkatan kualitas pendidikan. Sehingga ‘kodok pun ikut
bernyanyi’ karena gembira menyaksikan dunia pendidikan Indonesia dapat
dibanggakan.
Salam Maju Bersama!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Jumat, 22 November 2013
Berhentilah Salahkan Kodok..! “Sebuah Catatan untuk Guru”
Dalam suatu kesempatan, Saya pernah membaca sebuah artikel di media online seorang penulis buku parenting dan trainer pendidikan, beliau menulis sebuah artikel yang dengan berjudul “Salahnya Kodok”.
Dalam artikel tersebut penulis memotret kehidupan anak-anak Indonesia
yang sejak kecil secara tidak sadar dilatih untuk menyalahkan orang
lain. Jika sang anak jatuh maka si ibu mengatakan bahwa yang membuat
jatuh adalah kodok. Alih-alih si ibu menjelaskan mengapa sang
anak jatuh tetapi kodok yang tidak berdosa menjadi sasaran penimpaan
kesalahan. Seberapa sering anak jatuh ucapan si ibu terekam kuat dalam
otaknya dan membentuk dalam ucapan dan tindakannya kelak bila ia
menginjak remaja hingga dewasa bahkan sampai lanjut usia.
Kisah ini merupakan potret kehidupan sehari-hari yang terpapar secara jelas dan nyata. Seorang pengusaha yang mengalami kerugian besar menyalahkan pegawainya yang dianggap tidak becus bekerja. Seorang pejabat menyalahkan para stafnya jika ia terbukti melakukan penyalahgunaan wewenang. Seorang ayah atau ibu menyalahkan anaknya jika tidak memenuhi harapannya atau memenuhi keinginannya. Pada skala yang lebih luas, dengan adanya reformasi informasi, sering terjadi rakyat menyalahkan pemerintah. Sebaliknya pemerintah juga menyalahkan rakyat karena dianggap kurang tanggap terhadap kebijakan pemerintah.
Begitulah, kita seolah memasuki lembaran kehidupan yang tidak berujung dan berpangkal. Budaya menyalahkan orang atau pihak lain menjadi menu sehari-hari dalam perbincangan dan tingkah laku. Kebenaran menjadi barang yang langka dan buram karena hampir semua merasa benar sendiri. Pertanggungjawaban hanya menjadi catatan tertulis tanpa diimbangi dengan bukti yang nyata dan meyakinkan. Pengakuan bahwa secara pribadi memiliki kesalahan sering hanya sekadar basa-basi karena dalam realitasnya pengulangan kesalahan terjadi kembali.
Kebiasaan seperti ini sudah menjadi hal biasa di dengar yaitu antara ucapan dan tindakan sering tidak ada kesesuaian. Bila hipokrit dapat dianggap sebagai virus, maka ia tidak kalah berbahayanya dengan virus flu burung atau flu babi. Maka solusinya adalah lampu merah harus dinyalakan agar penyebaran virus tersebut dapat dihentikan. Dalam tulisan ini saya akan mencoba mengintrospeksi diri berkaitan dengan budaya salah kaprah tersebut. Jika seorang guru sudah terjangkiti penyakit tersebut siapa lagi yang berjuang di garis depan untuk memberantas penyakit yang membahayakan tersebut. Seorang guru pun tidak luput dari kebiasaan menyalahkan orang atau pihak lain.
Mudah-mudahan catatan kecil ini bermanfaat bagi pribadi saya dan untuk kita semua pada umumnya khususnya pegiat dunia pendidikan, karena :
Guru Bisa Salah
Di saat seseorang guru mengeluhkan atau mempertanyakan tentang fasilitas minim yang dimiliki sekolah dan beberapa persoalan lainnya. Saat yang sama, guru dituntut memberikan pembelajaran yang berkualitas. Guru masa depan merupakan guru yang tidak mudah terjebak untuk sering menyalahkan orang atau pihak lain sebagai penyebab kegagalan dalam kesuksesan kegiatan belajar-mengajar.
Pernyataan ini menyadarkan saya atau bahkan mungkin Anda, karena termasuk orang yang pernah menyalahkan keadaan yang bisa dikategorikan menyalahkan. Sebagai pendidik baru mungkin masih idealis dengan visi pendidikan yang dipahami dengan menggunakan varian pendidikan yang inovatif dan kreatif, akan tetapi bagaimana dengan teman-teman Guru yang sudah mengabdi hampir 20 tahun menjadi guru swasta yang secara finansial gajinya tidak lebih besar daripada upah buruh pabrik, misalnya. Sebaliknya pemerintah hampir setiap tahun menaikkan gaji guru-guru PNS. Padahal dalam setiap kesempatan para pejabat pendidikan selalu menyuarakan upaya penyetaraan guru negeri dan swasta secara finansial. Manis yang engkau ucapkan, pahit yang aku rasakan, sepenggal syair lagu yang diciptakan Rhoma Irama, sering mendengung memekakkan telinga.
Persoalan yang satu belum selesai, kini tantangan baru di depan mata yaitu peralihan kurikulum lama (KTSP) menjadi kurikulum 2013. Semua sepakat, yang menjadi masalah bukanlah perubahan kurikulum karena itu bagian dari tuntutan zaman memang menghendaki demikian. Yang menjadi soal adalah selalu dalam perubahan kurikulum itu disertai beban administrasi yang terkadang membingungkan. Pada akhirnya sang guru hanya disibukkan oleh urusan administrasi yang melelahkan, sedangkan upaya peningkatan kualitas pendidikan dan pembelajaran sering terabaikan. Untuk menyiasatinya timbullah budaya baru yang disebut copy-paste karena terbentur waktu yang tidak cukup untuk peningkatan diri.
Selanjutnya yang menjadi bahan penimpaan kesalahan adalah dalam guru itu sendiri. Banyaknya organisasi profesi guru yang mengakibatkan tidak berjalannya visi-visi guru sebenarnya. Akibatnya adalah timbullah kelompok-kelompok dalam komunitas guru, ada (PGRI, FGII, IGI atau FSGI). Ada kelompok pembangkang, pembebek, dan apatis. Padahal seharusnya organisasi profesi guru idealnya sebagai representatif dari semua kepentingan dan kebutuhan guru untuk menyukseskan pendidikan dan pembelajaran yang bermutu. Penimpaan kesalahan terhadap sesama guru bisa jadi karena berbeda ormas, misalnya, atau dianggap sebagai penghambat karirnya. Kesenjangan sosial pun dapat juga menjadi penyebab retaknya hubungan dewan guru.
Berikutnya, yang menjadi tudingan pembuat kesalahan adalah orang tua dan siswa itu sendiri. Orang tua dianggap sebagai penghambat kemajuan karena sebagian besar tidak mau memperhatikan perkembangan putra/putrinya. Sering terjadi orang tua hanya pasrah bongkokan kepada para guru tanpa diimbangi dengan perhatian yang penuh. Malah yang lebih menyakitkan, bila siswa memiliki prestasi orang tua menganggap itu bukan keberhasilan para guru. Sebaliknya bila siswa melakukan pelanggaran dan non-prestasi orang tua menganggap para guru tidak sanggup memberikan pendidikan dan pembelajaran yang baik. Kita sadar bahwa guru juga manusia, bisa salah dan alpa. Dalam bagian berikut saya perlu melakukan pembacaan kembali bagaimana seharusnya menjadi guru ideal.
Guru Ideal
Menjadi guru ideal bukanlah hal mudah karena dalam jiwa dan raganya melekat sifat-sifat insan kamil (manusia sempurna) sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW. Dalam konsep menjadi guru ideal yang saya ambil adalah dari ajaran agama Islam. Ada beberapa sifat yang seharusnya melekat dalam pribadi guru ideal sebagaimana diuraikan oleh Ir. H. Soehadi Djami’in dalam bukunya Perjuangan Membangun Citra Sekolah Islam.
Pertama, sebagai sosok yang menjadi contoh bagi para siswa seorang guru harus bertaqwa kepada Allah. Dari segi akhlaq dia harus memiliki tingkah laku yang baik. Integritas tinggi kepada profesi dan pendidikan menjadi pegangan keseharian. Amal ibadahnya dilakukan secara istiqamah disertai wawasan Islam yang baik dan luas. Pada dirinya juga tertanam kuat niat sebagai da’i (pendakwah) sehingga kemampuan baca-tulis Al-Qur’an pun dimilikinya.
Kedua, seorang guru ideal mempunyai kelayakan akademis (kredibilitas) yang terdiri atas: (1) menguasai materi, (2) terampil membuat rencana pembelajaran, (3) terampil menggunakan multimedia dan metode, (4) terampil mengelola kelas, (5) memiliki improvisasi dan pengembangan materi, (6) terampil mengevaluasi, (7) mampu menyampaikan materi, (8) tampil percaya diri, (9) kreatif, dan (10) terampil membuat laporan.
Ketiga, mengutip pendapat Al-Mawardi, seorang ulama Islam, seorang guru ideal harus memiliki sikap tawadhu’ (rendah hati) dan menjauhi sikap ujub (besar kepala, sombong). Guru yang rendah hati akan mendapat simpati sedangkan guru yang besar kepala akan menjadi kurang disenangi bahkan mungkin dibenci.
Keempat, seorang guru ideal adalah guru yang memiliki sikap ikhlas, artinya membersihkan hati dari segala dorongan yang dapat mengotori niat mulianya. Keikhlasan berkait erat dengan motivasi. Guru ideal yang ikhlas sudah pasti motivasinya karena Allah semata, bukan karena dorongan nafsu semata atau mengharap status dan penghormatan.
Kelima, seorang guru ideal yakni guru yang mencintai tugasnya. Panggilan jiwanya mengarahkan diri dan jiwanya selalu berbakti kepada Allah SWT. Di atas berbagai hal tersebut, pada akhirnya seorang guru ideal hanya mencari ridha Allah bukan sekadar mengharapkan balasan berupa materi atau kehormatan semu.
Demikianlah tipikal seorang guru ideal. Guru yang sibuk mengurus dirinya sendiri agar menjadi pribadi yang semakin baik dan berkualitas. Karena kesibukannya itulah dia tidak direpotkan untuk mencari kambing hitam yang dianggap sebagai biang keladi kesalahan. Introspeksi diri setiap saat menjadikan guru semakin diperhitungkan dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan. Sehingga ‘kodok pun ikut bernyanyi’ karena gembira menyaksikan dunia pendidikan Indonesia dapat dibanggakan.
Salam Maju Bersama!
Kisah ini merupakan potret kehidupan sehari-hari yang terpapar secara jelas dan nyata. Seorang pengusaha yang mengalami kerugian besar menyalahkan pegawainya yang dianggap tidak becus bekerja. Seorang pejabat menyalahkan para stafnya jika ia terbukti melakukan penyalahgunaan wewenang. Seorang ayah atau ibu menyalahkan anaknya jika tidak memenuhi harapannya atau memenuhi keinginannya. Pada skala yang lebih luas, dengan adanya reformasi informasi, sering terjadi rakyat menyalahkan pemerintah. Sebaliknya pemerintah juga menyalahkan rakyat karena dianggap kurang tanggap terhadap kebijakan pemerintah.
Begitulah, kita seolah memasuki lembaran kehidupan yang tidak berujung dan berpangkal. Budaya menyalahkan orang atau pihak lain menjadi menu sehari-hari dalam perbincangan dan tingkah laku. Kebenaran menjadi barang yang langka dan buram karena hampir semua merasa benar sendiri. Pertanggungjawaban hanya menjadi catatan tertulis tanpa diimbangi dengan bukti yang nyata dan meyakinkan. Pengakuan bahwa secara pribadi memiliki kesalahan sering hanya sekadar basa-basi karena dalam realitasnya pengulangan kesalahan terjadi kembali.
Kebiasaan seperti ini sudah menjadi hal biasa di dengar yaitu antara ucapan dan tindakan sering tidak ada kesesuaian. Bila hipokrit dapat dianggap sebagai virus, maka ia tidak kalah berbahayanya dengan virus flu burung atau flu babi. Maka solusinya adalah lampu merah harus dinyalakan agar penyebaran virus tersebut dapat dihentikan. Dalam tulisan ini saya akan mencoba mengintrospeksi diri berkaitan dengan budaya salah kaprah tersebut. Jika seorang guru sudah terjangkiti penyakit tersebut siapa lagi yang berjuang di garis depan untuk memberantas penyakit yang membahayakan tersebut. Seorang guru pun tidak luput dari kebiasaan menyalahkan orang atau pihak lain.
Mudah-mudahan catatan kecil ini bermanfaat bagi pribadi saya dan untuk kita semua pada umumnya khususnya pegiat dunia pendidikan, karena :
Guru Bisa Salah
Di saat seseorang guru mengeluhkan atau mempertanyakan tentang fasilitas minim yang dimiliki sekolah dan beberapa persoalan lainnya. Saat yang sama, guru dituntut memberikan pembelajaran yang berkualitas. Guru masa depan merupakan guru yang tidak mudah terjebak untuk sering menyalahkan orang atau pihak lain sebagai penyebab kegagalan dalam kesuksesan kegiatan belajar-mengajar.
Pernyataan ini menyadarkan saya atau bahkan mungkin Anda, karena termasuk orang yang pernah menyalahkan keadaan yang bisa dikategorikan menyalahkan. Sebagai pendidik baru mungkin masih idealis dengan visi pendidikan yang dipahami dengan menggunakan varian pendidikan yang inovatif dan kreatif, akan tetapi bagaimana dengan teman-teman Guru yang sudah mengabdi hampir 20 tahun menjadi guru swasta yang secara finansial gajinya tidak lebih besar daripada upah buruh pabrik, misalnya. Sebaliknya pemerintah hampir setiap tahun menaikkan gaji guru-guru PNS. Padahal dalam setiap kesempatan para pejabat pendidikan selalu menyuarakan upaya penyetaraan guru negeri dan swasta secara finansial. Manis yang engkau ucapkan, pahit yang aku rasakan, sepenggal syair lagu yang diciptakan Rhoma Irama, sering mendengung memekakkan telinga.
Persoalan yang satu belum selesai, kini tantangan baru di depan mata yaitu peralihan kurikulum lama (KTSP) menjadi kurikulum 2013. Semua sepakat, yang menjadi masalah bukanlah perubahan kurikulum karena itu bagian dari tuntutan zaman memang menghendaki demikian. Yang menjadi soal adalah selalu dalam perubahan kurikulum itu disertai beban administrasi yang terkadang membingungkan. Pada akhirnya sang guru hanya disibukkan oleh urusan administrasi yang melelahkan, sedangkan upaya peningkatan kualitas pendidikan dan pembelajaran sering terabaikan. Untuk menyiasatinya timbullah budaya baru yang disebut copy-paste karena terbentur waktu yang tidak cukup untuk peningkatan diri.
Selanjutnya yang menjadi bahan penimpaan kesalahan adalah dalam guru itu sendiri. Banyaknya organisasi profesi guru yang mengakibatkan tidak berjalannya visi-visi guru sebenarnya. Akibatnya adalah timbullah kelompok-kelompok dalam komunitas guru, ada (PGRI, FGII, IGI atau FSGI). Ada kelompok pembangkang, pembebek, dan apatis. Padahal seharusnya organisasi profesi guru idealnya sebagai representatif dari semua kepentingan dan kebutuhan guru untuk menyukseskan pendidikan dan pembelajaran yang bermutu. Penimpaan kesalahan terhadap sesama guru bisa jadi karena berbeda ormas, misalnya, atau dianggap sebagai penghambat karirnya. Kesenjangan sosial pun dapat juga menjadi penyebab retaknya hubungan dewan guru.
Berikutnya, yang menjadi tudingan pembuat kesalahan adalah orang tua dan siswa itu sendiri. Orang tua dianggap sebagai penghambat kemajuan karena sebagian besar tidak mau memperhatikan perkembangan putra/putrinya. Sering terjadi orang tua hanya pasrah bongkokan kepada para guru tanpa diimbangi dengan perhatian yang penuh. Malah yang lebih menyakitkan, bila siswa memiliki prestasi orang tua menganggap itu bukan keberhasilan para guru. Sebaliknya bila siswa melakukan pelanggaran dan non-prestasi orang tua menganggap para guru tidak sanggup memberikan pendidikan dan pembelajaran yang baik. Kita sadar bahwa guru juga manusia, bisa salah dan alpa. Dalam bagian berikut saya perlu melakukan pembacaan kembali bagaimana seharusnya menjadi guru ideal.
Guru Ideal
Menjadi guru ideal bukanlah hal mudah karena dalam jiwa dan raganya melekat sifat-sifat insan kamil (manusia sempurna) sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW. Dalam konsep menjadi guru ideal yang saya ambil adalah dari ajaran agama Islam. Ada beberapa sifat yang seharusnya melekat dalam pribadi guru ideal sebagaimana diuraikan oleh Ir. H. Soehadi Djami’in dalam bukunya Perjuangan Membangun Citra Sekolah Islam.
Pertama, sebagai sosok yang menjadi contoh bagi para siswa seorang guru harus bertaqwa kepada Allah. Dari segi akhlaq dia harus memiliki tingkah laku yang baik. Integritas tinggi kepada profesi dan pendidikan menjadi pegangan keseharian. Amal ibadahnya dilakukan secara istiqamah disertai wawasan Islam yang baik dan luas. Pada dirinya juga tertanam kuat niat sebagai da’i (pendakwah) sehingga kemampuan baca-tulis Al-Qur’an pun dimilikinya.
Kedua, seorang guru ideal mempunyai kelayakan akademis (kredibilitas) yang terdiri atas: (1) menguasai materi, (2) terampil membuat rencana pembelajaran, (3) terampil menggunakan multimedia dan metode, (4) terampil mengelola kelas, (5) memiliki improvisasi dan pengembangan materi, (6) terampil mengevaluasi, (7) mampu menyampaikan materi, (8) tampil percaya diri, (9) kreatif, dan (10) terampil membuat laporan.
Ketiga, mengutip pendapat Al-Mawardi, seorang ulama Islam, seorang guru ideal harus memiliki sikap tawadhu’ (rendah hati) dan menjauhi sikap ujub (besar kepala, sombong). Guru yang rendah hati akan mendapat simpati sedangkan guru yang besar kepala akan menjadi kurang disenangi bahkan mungkin dibenci.
Keempat, seorang guru ideal adalah guru yang memiliki sikap ikhlas, artinya membersihkan hati dari segala dorongan yang dapat mengotori niat mulianya. Keikhlasan berkait erat dengan motivasi. Guru ideal yang ikhlas sudah pasti motivasinya karena Allah semata, bukan karena dorongan nafsu semata atau mengharap status dan penghormatan.
Kelima, seorang guru ideal yakni guru yang mencintai tugasnya. Panggilan jiwanya mengarahkan diri dan jiwanya selalu berbakti kepada Allah SWT. Di atas berbagai hal tersebut, pada akhirnya seorang guru ideal hanya mencari ridha Allah bukan sekadar mengharapkan balasan berupa materi atau kehormatan semu.
Demikianlah tipikal seorang guru ideal. Guru yang sibuk mengurus dirinya sendiri agar menjadi pribadi yang semakin baik dan berkualitas. Karena kesibukannya itulah dia tidak direpotkan untuk mencari kambing hitam yang dianggap sebagai biang keladi kesalahan. Introspeksi diri setiap saat menjadikan guru semakin diperhitungkan dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan. Sehingga ‘kodok pun ikut bernyanyi’ karena gembira menyaksikan dunia pendidikan Indonesia dapat dibanggakan.
Salam Maju Bersama!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar